Pages

WELLCOME TO MY SITE

Sabtu, 22 Januari 2011

Ijma' Dalam Ekonomi Islam



BAB
DEFINISI IJMA’

2.1       Pengertian Ijma’
فأجمعوا أمرمكم و شركاءكم
 
Ijma’ menurut bahasa Arab memiliki dua pengertian, yaitu:[1] pertama adalah berupaya (tekad) terhadap sesuatu disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.[2] Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya:“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”. (Q.S. Yunus (10) :71)
فلما ذهبوا به و أجمعوا أن يجعلوه في غيابة الجب
 
Pengertian kedua adalah kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang (                            ) yang berarti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu”. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya:”Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur” (Q.S Yusuf (12) : 15)
Atau pandangan para sahabat Nabi SAW dan persetujuan yang dicapai dalam berbagai keputusan dan dilakukan oleh para “Mufti” yang ahli, atau para Ulama dan Fuqaha dalam berbagai persoalan dinul Islam.[3]
Ijma’ menurut istilah adalah kesepakatian mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.[4] Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seseorang pengganti beliau dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seseorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar ra. Sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar ra. Itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepkatan seperti ini dapat dikatakan ijma’.[5]
Dalam sumber lain ijma’ secara istilah merupakan kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada sesuatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Rasulullah SAW.[6]

2.2       Dasar Hukum Ijma’
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.[7]
            a. Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
            Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
            Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
            Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
            Firman AIlah SWT:
            Artinya:
            "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
            Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

            Firman Allah SWT:
            Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
            Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."

            b. AI-Hadits
            Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda:
Artinya :”Umatku tidak akan berkumpul (sepakat) di atas kesesatan”

            c. Akal pikiran
            Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

2.3       Hukum Ijma’
            Melalui penjelasan dasar-dasar hukum ijma’ dapat diketahui bahwa ijma’ ada yang sifatnya qath’i dilalah dan ada yang sifatnya zanni al-dilalah. Adapun ijma’ yang bersifat qath’i al-dilalah adalah ijma’ sarih sehingga tidak boleh menyalahi. Ijma’ seperti ini tidak boleh dilakukan ijtihad terhadapnya karena apa yang menjadi materi ijma’ tersebut telah menjadi hukum syara’ yang harus diikuti dan dilaksanakan. Sementara ijma’ yang bersifat zanni al-dilalah adalah ijma’ sukuti. Hasil ijma’ ini boleh dan dimungkinkan untuk dilakukan ijtihad mengingat ijma’ tersebut hanya sependapat sekelompok mujtahid pada suatu masa.[8]

2.4       Rukun-rukun Ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut: [9]
  1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
  2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
  3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
  4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.

2.5       Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan tentang kemungkinan terjadi ijma’ ulama.[10] Menurut sebagian pengikut syiah dan mu’tazilah bahwa ijma’ dengan rukun-rukun yang disebutkan di atas tidak mungkin terjadi. Namun, menurut jumhur ulama menilai mungkin terjadi secara adat.
            Yang menolak kemungkinan terjadi ijma’ mengemukakan tiga alasan:[11]
  1. Mustahil terjadi kesepakatan mujtahid, seperti mustahilnya pada saat yang sama terjadi kesepakatan mereka untuk makan dengan satu jenis makanan dan berbicara dengan kalimat yang sama. Perbedaan pendapat para mujtahid boleh terjadi karena perbedaan keinginan, kemampuan dan kebiasaan mereka masing-masing. Oleh sebab itu alasan yang mendorong manusia untuk dihimpun dalam satu pendapat.
  2. Tersebarnya para mujtahid di berbagai penjuru dunia sahingga sulit untuk menyampaikan hukum yang akan disepakati.
  3. Kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum adakalanya didasarkan kepada dalil qath’i yang tidak membutuhkan takwil atau adakalnya didasarkan pada dalil zanni.
Hal diatas tidak adakalnya benar dan juga kurang tepat, benar tidaknya argument Jika kita memperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman sahabat hingga sekarang. Yang sudah jelas intensitas ijtihad sahabat mendapat tempat tersendiri dalam fiqih. Maksudnya kendatipun ijtihad membuka ruang ikhtilaf, tapi karena sering dilakukan secara bersama dan musyawarah, apalagi saat itu sahabat belum tersebar luas, ijtihad sahabat banyak mendapatkan suatu”kesepakatan umum dari satu generasi” atau Ijma’.[12] jika dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu: [13]
  1. Periode Rasulullah SAW;
  2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
  3. Periode sesudahnya.
            Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasulullah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat Al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
            Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
            Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
            Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
            Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
  2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan
  3. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
            Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
            Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
            Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

2.6       Macam-macam Ijma’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:[14]
  1. ljma' Shorikh, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
  2. Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
  1. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
  2. ljma’ zhonni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu zhonni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
            Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
  1. Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
  2. Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
  3. Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  4. Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
  5. Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Contoh Ijma’ Sahabat :
  1. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski terdapat anak dari orang yang meninggal.
  2. Saudara-saudara seibu-sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al-a’lat)[15] terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan degan ijma sahabat.
  3. Wajib memilih khalifah dengan tenggang waktu tiga hari sejak berakhirnya kekhalifahan sebelumnya. Para pemuka sahabat tidak menyibukkan diri dengan proses pemakanaman jenazah Rasul, tetapi mereka pergi menuju Saqifah bani Saidah hingga terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah dalam tenggat waktu tiga hari telah sempurna.

2.7       Objek Ijma’
            Objek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, diantaranya berkaitan dengan peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah mahdhah (ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah SWT), salah satu contoh ijma’ tentang ibadah mahdhah adalah dalam hal penetapan jumlah raka’at sholat subuh sebanyak 2 (dua) raka’at dan ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.[16]



BAB III
RELEVANSI IJMA’

3.1       Menghormati Ijma’ sebagai Hujjah (Argumentasi Hukum)
   Bila ijma’ telah ditetapkan, maka ijma’ tersebut mempunyai hukum atau hujjah untuk umat pada masa berlangsungnya ijma’ itu dan untuk umat sesudahnya. Para ulama telah bersepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’.[17] Kehujjahan ijma’ yang kuat dan dapat mengikat dapat diketahui melalui periwayatan dari satu orang kepada orang lain dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian ijma’ dapat ditetapkan melalui khabar atau periwayatannya dan ini dapat dikatakan sebagai sumber yang qath’i (kuat).[18] Kesepakatan seluruh ulama mengenai  hukum syariat -khususnya di abad-abad pertama- menunjukan bukti yang jelas bahwa dalam sesuatu yang mereka sepakati, mereka bersandar pada pernyataan syar’i yang benar baik nash, maslahah atau hal-hal inderawi. Seyogyanya kita menghormati ijma’ mereka agar sesuatu yang disepakati secara meyakinkan  dapat ditetapkan  di dalam syariat.[19]
            Abu zahra menilai semua ulama sepakat menjadikan ijma’ sebagai dalil.[20] Bukti atas kehujjahannya ijma’ adalah dalam Al-Qur’an An-nisa : 59

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT, dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu”
            Lafadz amri artinya adalah hal atau keadaan, dan ia adalah umum, yang meliputi hal-hal duniawi. Dan ulil amri duniawi ialah para pemimpin atau raja serta penguasa. Dan sesuai dengan ayat diatas menurut Ibnu Abbas bahwa ulil amri adalah Ulama.[21] Maka apabila ulil amri, yakni para mujtahid telah mengadakan ijma’ atas suatu hukum, maka wajib diikuti dan dilaksanakan sebagai suatu hukum yang berdasarkan nash Al-Qur’an.
3.2       Apakah Ijma’ bisa di nasakh ?
            Mengenai masalah ini, pada dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash, baik nash Al-Qur’an maupun hadits, karena nasakh berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya. Karenanya tidak mungkin terjadi nasakh dalam hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ra’yu, meskipun ra’yu yang merujuk kepada nash.
Tetapi berupa kemungkinan munculnya ijma’ yang men-nasakh atau mengakhiri berlakunya hasil ijma’ yang lalu. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.[22]
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam ijma’ artinya, apa yang telah ditetapkan dengan ijma’ tidak mungkin dibatalkan atau dinasakh, baik dengan nash, dengan ijma’ lagi atau dengan qiyas. Alasannya adalah bahwa yang me-nasakh-kannya tentu adalah nash, ijma’ atau qiyas. Namun menasakh ijma’ dengan salah satu diantaranya tidaklah mungkin. Tidak mungkin ijma’ di-nasakh-kan dengan Al-Qur’an dan Sunnah karena keberadaan keduanya hanya mungkin terjadi pada waktu Nabi SAW masih hidup, sedangkan ijma’ baru terjadi setelah beliau wafat. Seandainya nash yang akan me-nasakh ijma’ itu telah ada sebelum adanya ijma’, maka berarti ijma’ itu menyalahi nash yang telah ada itu.
  2. Sebagian kecil ulama-diantaranya ulama mu’tazilah dan fakhrur Razi-berpendapat bahwa ijma’ dapat di-nasakh oleh ijma’ yang datang kemudian, karena tidak ada halangan bagi ijma’ yang pertama itu adalah qiyas yang illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama yang mencetuskan ijma’ pertama itu sebagai maslahat, tetapi kemudian masalahat itu berubah pada masa berikutnya dan pada masa itu para ulama menggunakan qiyas yang merujuk kepada sifat yang lain (berbeda). Keadaan yang telah berubah ini menghendaki hukum yang berbeda dengan ijma’ yang pertama.
            Kesimpulannya adalah bahwa nasakh pada ijma’ dibolehkan, menurut fakhrur Razi dan Khudary Bey. Karena bila suatu hukum ditetapkan melalui ijma’ dalam suatu masa, maka dapat saja kemudian ulama melakukan ijma’ lagi yang berbeda dengan hasil ijma’ yang pertama. Dengan sendirinya ijma’ kedua menasakh ijma’ pertama.
BAB IV
IJMA’ DALAM EKONOMI ISLAM

Semakin kompleks problematika dan perkembangan perekonomian pada zaman modern ini, beberapa ijma’ (keputusan) ulama pada kondisi kontemporer sekarang adalah sebagai berikut:
1.  Ijma’ tentang keharaman bunga bank. Menurut Syeikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya bunga bank adalah haram, bahwa sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah menghasilkan suatu ijma’ tentang keharaman bunga bank (mereka terdiri dari ahli fikih, ahli ekonomi dan keuangan dunia) melalui satu pertemuan dimana ”Telah lahir ijma’ ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi Islam yang mengharamkan bunga bank dalam segala bentuknya dan bunga bank itu adalah riba tanpa diragukan sedikitpun.[23] Beberapa hasil keputusan dari lembaga internasional antara lain:[24]

  1. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua perserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu:
    1. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
    2. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hasil kesepkatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam (IDB).

  1. Mufti Negara Mesir
Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan

  1. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al-Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H / Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Diantara ulama-ulama besar yang hadir adalah Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof.Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya. Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut mengutarakan langsung kepada penulis pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang, Jakarta Selatan, bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia Islam. Yang menarik, menurut beliau, bahwa para bankir dan ekonom justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek pembungaan uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan alternatif.  

  1. Fatwa Lembaga-lembaga lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain:
    1. Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia
    2. Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia
Selain lembaga diatas, ada penambahan ketetapan akan keharaman bunga bank oleh tiga forum ulama internasional, yaitu:[25]
  1. Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar Mesir Mei 1965.
  2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy di negara-negara OKI, Jeddah 22-28 Desember 1985.
  3. Majma’ Fiqh Rabithah Rabithah al-‘Alam al-Islamy keputusan ke-6 sidang ke-9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H.
  4. Keputusan Dar Al-Ifta, Kerajaan Saudi Arabia, 1979.
  5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan, 22 Desember 1999.

Dasar-dasar Penetapan[26]
  1. Bunga bank memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT seperti dikemukakan oleh Imam Nawawy dalam Al-Majmu, Ibn Al-Araby dalam ahkam Al-Qur’an, Al-Aini dalam Umdah al-Qary, Al-Sarakhasy dalam Al-Mabsuth, Ar-Raghib al-Isfahani, Yusuf Qardhawi dalam Fawaid al-Bunuk, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Ali-Ashabuni, Wahbah Az-Zuhaily dalam Al-Fiqh wal Islamy wa adilatuh.
  2. Bunga uang dari pinjaman/simpanan yang berlaku diatas lebih buruk daripada riba yang diharapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan bunga bank sudah langsung dikenakan tambahan sejak transaksi.

2. Ijma’ tentang keabsahan kontrak pembelian barang yang belum diolah atau diproduksi (‘Aqdul Istishna’).[27] Aturan normalnya adalah pelarangan penjualan barang yang tidak ada (non-exist) karena adanya ketidakpastian. Tapi penjualan barang seperti ini, yang belum ada hukumnya tidak sah karena ia belum pasti hukumnya. Kesepakatan para Ulama membolehkannya ditujukan untuk memperoleh jalan keluar yang mudah.

3.      Ijma’ tentang warisan, ijma’ yang telah dilandaskan pada sunnah yang diamati dalam kasus warisan. Dimana ulama sepakat menetapkan bahwa nenek menggantikan kedudukan ibu sebagai ahli waris bilamana ibu kandung dari si mayit sudah meninggal.[28]Dimana Nabi SAW pernah memberi nenek seperenam harta warisan dari si mayit yang telah tiada ibunya. Dalam sumber lain telah disepakati bahwa bila seseorang didahului (ditinggal mati) oleh ayahnya, maka kakek turut serta memperoleh warisan bersama anak lelaki yang diambil dari bagian ayahnya.[29]
Telah disepakati pula bahwa seorang nenek berhak memperoleh seperenam dari warisan yang ada. Dalam hal ini, Ijma’ didasarkan pada keputusan yang berasal dari Mughirah bin Syu’bah (wafat tahun 50 H) dibandingkan dengan ketentuan Nabi SAW.

Dasar Penetapan[30]
Dalam masalah hukum kekeluargaan telah disepakati bahwa karena Al-Qur’an menjelaskan (larangan) menikah dengan ibu dan anak perempuan, maka larangan itupun berlaku bagi nenek dan cucu perempuan (walaupun jaraknya lebih jauh), dengan dalil yang sama.

4.      Ijma’ ulama tentang asuransi bisnis yang mengharamkan, Sesungguhnya Majelis Ulama Fikih pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 sya’ban 1398 M, di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami meneliti persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah sebelumnya menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut, dan juga setelah melihat keputusan Majelis Kibar al-Ulama di Kerjaan Saudi Arabia pada pertemuan kesepuluh di Kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK No. 55, tentang haramnya asuransi berbasis bisnis dengan berbagai jenisnya. Setelah mempelajari secara lengkap berbagai pendapat seputar persoalan itu, baik berupa asuransi jiwa, asuransi barang dagangan berdasarkan analisis sebagai berikut:[31]
a.       Dimana memberlakukan premi tetap sebagaimana dilakukan berbagai perusahaan asuransi bisnis merupakan perjanjian usaha yang mengandung unsur “menjual kucing dalam karung” karena pihak yang akan menerima asuransi pada saat perjanjian tidak mengetahui jumlah uang yang akan dia berikan dan akan diterima. Karena bisa jadi sekali, dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi, hal ini juga sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayarkan penanggung.[32] Yang merusak perjanjian dan membolehkan asuransi kooperatif (semacam arisan) dan asuransi sosial (tunjangan pensiun) karena dasarnya adalah dari sumbangan sukarela dan atas asas gotong royong sesuai dengan Q.S Al-Maidah : 2.[33] sehingga ijma ulama mengharamkan asuransi bisnis di konvensional.

5.      Ijma’ ulama tentang instrumen keuangan syariah SBIS dalam akad ju’alah (Kitab Bidayah Al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/283
Madzhab Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan dengan alasan :
(1)     Firman Allah : “Penyeru-penyeru itu berkata : “kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” (Yusuf : 72)
(2)      Dalam Hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat Al Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasullah pun tertawa seraya bersabda : “Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli Hadits kecuali An Nasa’i)

6.      Jual beli pelelangan (muzayadah), dimana pelelangan itu boleh berdasarkan ijma’ (konsensus) kaum muslimin.[34] Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengambil barang yang dijual.

7.      Jual beli Madhaamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama tidak dibolehkan.[35] Alasannya adalah mengandung unsur gharar, sangat jelas karena jika penjual ingin menjual anak yang masih dalam perut induknya yang berarti barang belum ada, sedang si pembeli menghadapi suatu risiko antara berhasil mendapatkan anak tersebut atau tidak.



[1] Firdaus. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam. Jakarta: Zikrul Hakim, hal 42
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami.
[3] Rahman, Abdur. 1993. Shariah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[4] Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Terjemahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[5] Muchtar, Kemal. 1995. Ushul Fiqh. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.
[6] Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995
[7] Mukhtar, Kemal. Ushul Fiqh. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. hal 100.
[8] Firadau. Op cit. Hal 51
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 63
[10] Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. hal 310
[11] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. hal 51
[12] Sirry, Mun’im A. Sejarah Fikih Islam: Sebuah pengantar. Surabaya: Risalah Gusti, 1995. hal 39
[13] dikutip dari Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 67, merujuk pada Abd al-Khalil al-Qaransaawi, dkk, al-Mujiz fi Ushu al-Fiqh (Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa), 1965. hal 569-570.
[14] Abdul Wahhab Khallaf dan Firdaus Op Cit
[15] Banu al-a’yan adalah  saudara laki-laki atau perempuan yang se-ibu dan se-bapak. Banu al-a’lat adalah saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang sebapak saja. Banu al-akhyaf adalah saudara-saudara laki-laki atau perempuan yang se-ibu saja.
[16] Mukhtar, Kemal., op. Cit., hal. 107
[17] Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. hal 308.
[18] Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, Cet ke-3. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. hal 54.
[19] Dr. Yusuf  Qaradhawi, Fikih Tafsir, Metode Praktis Mempelajari Fikih (Jakarta,Pustaka Al-Kautsar: 2001), hal. 66
[20] Firdaus, op. cit., hal 46
[21] Tafsir Ibnu Katsir
[22] Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta: Kencana, 2008.
[23] Qardhawi, Yusuf. Bunga Bank Adalah Haram
[24] Antonio, Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, BI dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999. hlm 94.
[25] Hafidhuddin, Didin. Mutiara Dakwah, Jakarta: Kuwais, 2006. hlm 299.
[26] idem
[27] Achsien, Iggi H. Investasi Syariah di Pasar Modal: Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
[28] Firdaus. Op cit. Hal 48
[29] Op Cit hal 102. Rahman, Abdur. 1993. Shariah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[30] idem
[31] Al-Muslih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah, Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004. hal 275.
[32] Sula, M. Syakir. Asuransi Syariah (Life dan General: Konsep & Sistem Operasional). Jakarta: GIP, 2004. hal 299.
[33] Al-Mushlih, Abdullah. Bunga Bank Haram ? : Menyikapi Fatwa MUI menuntaskan kegamangan umat. Jakarta: Darul Haq, 2003. hal 107.
[34] Al-Muslih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah, Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004. hal 108.
[35] Dikutip dari Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi Ekonomi Islam. Terjemahan. Jakarta: Migunani, 2008. hal 291. lihat juga Ibnu Qayyim, Zaad al-Ma’ad, 4 : 318-319.
THANK'S FOR VISITE MY SITE